Balita di Gunung Pedang, Makna Merdeka bagi Putra Kartosoewirjo DI/TII - Rumah Berita

Rumah Berita

Berita Terupdate Masa Kini

Breaking

Senin, 19 Agustus 2019

Balita di Gunung Pedang, Makna Merdeka bagi Putra Kartosoewirjo DI/TII



Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII Sekar Maridjan Kartosoewirjo dirumahnya, Malangbong, Garut, Jawa Barat, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Adit]


Hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berakhir di ujung bedil sebarisan tentara republik. Pendiri sekaligus imam besar DII/TII itu sudah lama rebah. Belakangan, putranya menyudahi perjuangan ayahanda, memilih kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

SATU RUMAH di Malangbong, Garut, Jawa Barat, tampak lebih besar dari yang lain. Sehelai bendera Merah Putih berkibar di ujung tiang yang tegak berdiri di depan rumah bercat dominan hijau toska.

Matahari tengah terik-teriknya ketika saya berdiri di depan gerbang pintu besi bewarna putih rumah itu, Jumat (16/8/2019), bakda Jumatan, persis pukul 14.15 WIB. Tapi semilir angin musim kemarau yang berembus rasanya cukup untuk menahan keringat yang keluar dari pori-pori saya.

Dari dalam, sang empu rumah, lelaki berusia 63 tahun, dengan langkah berat, pelan-pelan menghampiri saya. Lelaki berbaju koko putih dan celana bahan hitam itu lantas membukakan pintu gerbang, mempersilakan saya masuk.

“Silakan masuk,” katanya, “Parkir mobilnya di dalam saja.”.

Lelaki itu Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII dan Imam Negara Islam Indonesia (NII) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Perlahan saya dan Sardjono berjalan melewati halaman rumahnya yang cukup luas menuju pintu utama rumah.

Di halaman luas itu terdapat kebun berukuran mini yang di tanami berbagai pepohonan, seperti labu dan singkong. Ada pula kolam ikan berukuran sekitar 4x4 meter.

“Ikan apa itu Pak Haji? Mujair ya?” tanya saya.

“Iya untuk iseng-iseng saja lah itu mah,” jawabnya.

“Yuk silakan masuk.”

“Iya pak, saya izin mau merokok dulu sebentar,” kata saya.

“Ya sudah saya buatkan kopi ya.”

Mulut saya benar-benar sudah asam sejak dalam perjalanan, belum terkena nikotin. Saya lantas membakar sebatang rokok sembari melihat-lihat sekitar rumah.

Sembari merokok, mata saya tertuju pada pintu kayu berwarna cokelat yang menghubungkan rumah ke sebuah warung milik Sardjono.

Pada bagian atas pintu kayu tertempel stiker caleg berwarna putih dengan logo Partai Gerindra lengkap dengan nomor urut angka 6 yang sudah mulai memudar: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Nomor 2 Sardjono”.

Terlihat pula foto Sardjono tengah menjabat tangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada stiker itu, seperti pada umumnya foto-foto caleg saat berkampanye.

 “Itu pas Pemilu tahun 2014,” kata Soerdjono. Saya tak sadar dia sudah kembali.

“Menang Pak?”

“Eleh (kalah), karena enggak punya uang,” katanya, tertawa.

“Kemarin juga kalah,” katanya.

“Oh mencalonkan lagi Pak?”

“Iya tapi di PPP,” kata Sardjono.

“Itu,” kata dia.

Telunjuk Sardjono mengarah ke stiker dirinya saat menjadi Caleg PPP untuk DPR RI Dapil Jawa Barat XI meliputi Garut, Kabupaten Tasik, Kota Tasik yang menempel pada sebuah kaca jendela.

“Saya sih sudah yakin kalah, karena enggak punya uang, tapi enggak apa-apa lah buat pengalaman, ha-ha-ha-ha.”

“Hayuk masuk,” sambungnya.

Hidangan tersaji di meja ruang tamu. Sang empu rumah telah menyiapkan semua untuk menyambut kehadiran saya. Buah pepaya, keripiki pisang, dan kue tampak berjejer di meja.

“Ayo dimakan,” ucapnya.

BANDAR DOMINO99 | AGEN BANDARQ | AGEN POKER | DOMINO ONLINE | AGEN DOMINO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages

close