Maraknya direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersangkut kasus korupsi diduga karena lemahnya pengawasan. Di dalam BUMN sendiri setidaknya ada dua pengawas, yaitu satuan pengawas internal (SPI) dan komisaris. Namun, pengawasan keduanya masih lemah.
"Karena memang pengawasan cukup lemah di BUMN mereka punya namanya satuan pengawas internal, mereka juga punya komisaris-komisaris yang harus mengawasi jajaran direksi dan perusahaan," kata Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho dalam diskusi Bersih-bersih BUMN, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Dia bilang, berdasarkan informasi yang diterimanya banyak komisaris yang dipilih bukan berdasarkan profesionalisme dan kompetensinya. Apalagi, saat proses seleksi calon komisaris mereka tidak tahu inti bisnis BUMN-nya.
"Di sisi lain membacanya banyak juga komisaris di BUMN bukan dipilih berdasarkan faktor profesionalisme dan kompetensinya. Misal berapa teman cerita komisaris ketika proses seleksi dia nggak tahu core bisnis perusahaannya apa, bahkan tupoksi komisaris dia nggak tahu," ujarnya.
"Dia timses, orang dekat orang politik tertentu itu yang kemudian disodorkan. Kalau kompetensi nggak masalah, banyak juga yang menyebut sering kali jabatan komisaris fungsi pengawasan maksimal, hanya balas jasa elite-elite politik karena sudah punya kontribusi," sambungnya.
Lanjutnya, fungsi SPI hanya bisa beroperasi di wilayah manajemen bawah, tapi tidak bisa menjangkau di jajaran atas manajemen.
"SPI agak mentok kalau bicara direksi maupun Dirut. Kan fungsi pengawasan kembali ke Dirut, problem-nya kalau itu menyangkut Dirut atau melibatkan direksi, mentok," ujarnya.
Sebagai informasi, beberapa direksi yang terjerat dugaan kasus korupsi antara lain mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero) Andra Y Agussalam, dan eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar.
BANDAR DOMINO99 | AGEN BANDARQ | AGEN POKER | DOMINO ONLINE | AGEN DOMINO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar