DN Aidit bak kanker yang harus diamputasi, begitu narasi besar yang diwariskan sejak era Orde Baru. Namun, namanya tak bisa begitu saja dihapus dari sejarah pergerakan kemerdekaan RI.
KAMI MERIUNG di garasi rumah berlantai dua di bilangan Kota Bandung, Jawa Barat. Malam belum begitu larut pada Jumat, 16 Agustus 2019. Pada jam tangan saya, waktu menunjukkan pukul 09.15 WIB.
Saya bersama videografer Adit dan kru sekaligus driver Subhan baru tiba di rumah itu dari Malangbong, Garut, Jawa Barat. Ditemani tuan rumah, kami masing-masing asyik mengisap sebatang rokok di garasi itu.
Lima menit, satu batang rokok habis. Sang empu rumah mengajak masuk. Gaya rumah itu minimalis. Ruang makan menyatu dapur serta petak ruang tamu berukuran 5x6 meter.
Dua kursi rotan dan sofa yang juga berbahan dasar akar pada ruang tamu berdinding kuning gading, menjadi tempat kami berempat bercakap-cakap. Dua foto anak-anak lelaki terpajang di ruang tamu.
“Sepi juga bung, anak-anak lagi di mana?” tanya saya.
“Jam segini, anak-anak di lantai dua. Mereka mah biasa, pada main gim,” jawabnya.
Lelaki berkemeja Charcoal dan bercelana bahan hitam itu seorang arsitek lulusan Teknik Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Dia pernah terlibat dalam rekonstruksi Aceh pascatsunami tahun 2004.
Tahun ini, usianya beranjak 60, tak lagi muda. Tapi lelaki kelahiran Moskow, Uni Soviet, 18 Mei 1959 tersebut terlihat masih segar dan energik.
Kesegaran itu buah dari ketegarannya menghadapi beragam persoalan yang pelik sejak masih kecil. Dia adalah Ilham Aidit, putra keempat mendiang Ketua CC PKI DN Aidit.
Sejak Soeharto berkuasa pada era Orde baru, DN Aidit dikonstruksikan sebagai sosok yang anti-Pancasila, anti-NKRI, dalang Gerakan 30 September 1965.
Tak ayal, perburuan berdarah-darah terhadap kaum komunis dan pendukung Bung Karno pascamalam jahanam itu sudah seperti kelaziman. Aidit sendiri ditembak mati di Boyolali, Jawa Tengah, November 1965, tanpa sempat mengungkap pembelaannya.
”Semua itu diproduksi oleh Orde Baru. Papa sebenarnya bukan sosok seperti itu,” kata Ilham, memulai ceritanya tentang DN Aidit.
Sosok Aidit yang dikenal luas kekinian adalah yang sudah dikonstruksikan dalam film dokudrama berjudul “Pengkhianatan G30SPKI” besutan Arifin C Noer. Film itu disponsori pemerintah Orba dengan anggaran Rp 800 juta. Pada era 80-an hingga 90-an, setiap bocah sekolah diwajibkan menontonnya.
Ilham menuturkan kekagumannya yang getir terhadap film itu, “Propaganda Orba itu luar biasa, berpuluh tahun rakyat diyakinkan bahwa DN Aidit itu ateis, anti-NKRI, anti-Pancasila.”
”Apa sosok papa bung sebenarnya berbanding terbalik dengan seperti yang ditampilkan film itu?” taya saya.
Ilham pendek menjawab, “Semua orang yang hidup era itu tahu, bukan hanya ayah saya, semua orang-orang PKI itu cinta Tanah Air.”
Istri Ilham meletakkan teh, martabak telur dan keripik tempe di meja ruangan itu untuk kami.
“Silakan, sambil ngobrol,” katanya kepada kami.
Ilham benar-benar jengkel sang ayah distigma tak cinta Tanah Air. Bukan karena dia adalah putra DN Aidit, tapi dia benar-benar tahu pandangan rasional sang papa soal Indonesia.
Ia membandingkan pandangan papanya dengan gelombang propaganda penegakan sistem kenegaraan khilafah yang terbilang gencar beberapa waktu ke belakang.
“Justru mereka-mereka yang menginginkan sisitem kekhilafahan yang lebih pantas disebut sebagai anti-Pancasila dan anti-NKRI,” tukasnya.
“Kenapa bung?” taya saya.
Ilham menjelaskan, “Kekhilafahan itu konsep dasarnya transnasional, menghilangkan sekat antarbangsa, mereka tak peduli dengan NKRI, bahkan anti. PKI tak seperti itu.”
Cinta Tanah Air begitu mendarah daging pada diri DN Aidit sejak muda, “Sampai hal-hal yang kecil bisa dilihat dari dirinya,” kata Ilham.
Sewaktu kecil, Ilham bisa menghapal berbagai lagu-lagu nasional dan daerah karena kerap mendengar DN Aidit menyanyikannya. Baginya, itu adalah contoh kecil-kecil betapa sang papa mencintai republik ini.
“Lagu kesukaannya itu, berkali-kali di sebutkan oleh dia dan ibu saya adalah Indonesia Pusaka. Kami sekeluarga suka menyanyikan lagu itu. Papa menyanyikan lagu itu sepenuh hati.”
“Tapi, PKI berhaluan komunis, ingin mengganti dasar ideologi negara ini?” tanya saya.
“Itu propaganda Orde Baru yang bilang PKI anti-Pancasila,” jawabnya.
”Yang sebenarnya seperti apa bung?”
”Sampai dibubarkan Soeharto, platform PKI itu Pancasila. Tak satu pun kader PKI pernah bilang ’kami anti-Pancasila’.”
“DN Aidit sendiri tidak pernah ragu bilang Pancasila adalah hal yang sangat baik untuk bangsa ini, tapi sisitem ekonomi komunis sebaiknya diterapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Silakan cek dalam buku-bukunya,” tantang Ilham.
BUKU-BUKU sejarah resmi sejak era Orba hanya mencatat DN Aidit sebagai Ketua CC PKI dan dalang dari G30S. Namun, pada banyak buku sejarah lain, dia disebut turut memilik andil besar dalam kemerdekaan Indonesia 1945.
Salah satunya, DN Aidit turut andil dalam peritiwa rombongan pemuda yang menculik Soekarno – Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Cerita andilnya DN Aidit dalam peristiwa penculikan Soekarno – Hatta ke Rengasdengklok terekam dalam buku ditulis Sidik Kertapati dalam buku “Sekitar Proklamasi 1945.”
***
HARI MASIH SORE pada Rabu, 15 Agustus 1945, ketika Aidit menyambangi kawan-kawannya, terutama Wikana, di asrama Badan Perwakilan Pelajar Indonesia, Cikini 71. Aidit mengajak mereka menggelar rapat rahasia di kebun jarak Institut Bakteriologi Pegangsaan.
Rapat rahasia itu digelar, Rabu malam sekitar pukul 19.00 WIB. Para pemuda yang mewakili golongannya masing-masing hadir. Selain Aidit, ada Chairul Saleh, Wikana, Djohar Nur, Pardjono, dan sejumlah lainnya.
Pada rapat rahasia para pemuda itulah mula-mula tercetus ide Indonesia harus segera diproklamasikan menjadi negara merdeka dan berdaulat.
Mereka bersepakat membawa keputusan itu kepada Soekarno dan Hatta, dan meminta kedua tokoh itu mengakhiri hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang.
"Dalam pertemuan itu, Aidit mengajukan usul yang berpandangan jauh, yaitu agar Bung Karno ditetapkan sebagai Presiden Indonesia yang pertama," kata Sidik dalam bukunya halaman 77.
Para pemuda bersepakat, mengutus delegasi yang beranggotakan Aidit, Wikana, Suroto Kunto, dan Subadio untuk menyampaikan keputusan itu ke rumah Bung Karno, Pegangsaan Timur Nomor 56. Mereka sampai di rumah itu malam itu juga, pukul 21.00 WIB.
“Bung, kami bersepakat agar proklamasi kemerdekaan Indonesia disegerakan, tanggal 16 Agustus,” kata Wikana yang disorongkan sebagai juru bicara kepada Bung Karno.
Mendengar permintaan para pemuda, Bung Karno menjawab tidak bisa memutuskan sendiri.
Ketika para pemuda sedang berbicara dengan Bung Karno, tokoh-tokoh tua pejuang berdatangan. Mula-mula Bung Hatta, lantas Mr Subardjo, Mr Iwa Kusumasumanti, Djojopranoto, Mbah Diro, Dr Samsi, Dr Buntaran, dan lainnya.
Bung Hatta tahu sohibnya tengah didesak para pemuda. Ia lantas menghampiri dan mengatakan, “Kami tak bisa dipaksa melakukan proklamasi yang kepala dan hatinya panas.”
Delegasi pemuda itu terkejut. Mereka memilih pulang ke markas, Cikini 71. Di sana ada Chairul Saleh dan rekan-rekannya. Mereka menggelar rapat evaluasi.
Hasil rapat evaluasi sama saja, para pemuda tetap ingin proklamasi kemerdekaan RI harus disegerakan.
Adam Malik, dalam bukunya berjudul “Proklamasi Agustus 1945” menuliskan, mereka akhirnya sepakat membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke luar Jakarta. Singgih, pemuda yang mewakili tentara PETA, mendukung usulan itu. Dia menyanggupi mengawal kedua tokoh itu ke luar daerah.
"Putusan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta, mereka harus dibawa menyingkir keluar kota, di daerah di mana rakyat dan tentara siap untuk menghadapi segala kemungkinan… jika proklamasi sudah dinyatakan," tulis Adam Malik pada halaman 46.
Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya dijemput. Pagi hari mereka berjalan ke Rengasdengklok. Fatmawati—istri Bung Karno—dan anaknya Guntur yang berusia 9 bulan dibawa serta.
Sementara Bung Hatta dibawa memakai mobil lain bersama Sukarni. Perjalanan rombongan itu ketat dikawal tentara PETA yang dikomandoi langsung Singgih.
Bung Karno dan Bung Hatta yang tiba-tiba menghilang membuat Jakarta gempar. Agar kondisi paling buruk bisa diantisipasi, para pemuda seperti Aidit, MH Lukman, Sjamsudin, Suko, Pradjono, Darwis, Armunanto, Cornel Simanjuntak, Armansyah, AM Hanafi, Djohar Nur, Sidik Kertapati, dan lainnya semakin menggiatkan mengorganisaiskan rakyat.
Para pemuda bertekat, kalau Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok tetap berkukuh enggan memproklamasikan kemerdekaan seperti keinginam ereka, bakal dibentuk presidium revolusi.
Di Rengasdengklok, Bung Karno dan keluarga dipindah ke rumah milik etnis Tionghoa patriotik yang sudah lansia, I Siong. Pada rumah itulah para pemuda menjelaskan detail untung-rugi kalau Bung Hatta dan Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu janji Jepang.
Bung Karno dan Bung Hatta memahami keinginan para pemuda. Tapi pada pagi itu, keduanya belum menyetujui keinginan pemuda agar hari itu juga memproklamasikan kemerdekaan.
Pertemuaan Kamis, 16 Agustus 1945 pagi itu berujung buntu. Sorenya, sekitar pukul 16.00 WIB, kembali diadakan pertemuan.
Setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendengar penjelasan detail tentang para pemuda yang sudah menyiapkan gerakan revolusi, keduanya bersepakat memproklamasikan kemerdekaan RI pada Kamis malam.
Penerimaan usulan itu penting, karena menunjukkan Republik Indonesia nantinya adalah negara berdaulat, bukan hadiah dari Jepang. Selanjutnya, kedua tokoh bangsa itu dibawa kembali oleh pemuda ke Jakarta.
Meski waktunya meleset, Bung Karno dan Bung Hatta tetap menyegerakan membacakan teks proklamasi kemerdekaan, yakni Jumat tanggal 17 Agustus 1945.
BANDAR DOMINO99 | AGEN BANDARQ | AGEN POKER | DOMINO ONLINE | AGEN DOMINO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar