Sejarah tak bisa dibaca secara hitam-putih, termasuk sosok pendiri sekaligus Imam Besar DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Hidupnya berakhir dengan eksekusi mati karena memberontak. Namun, jauh sebelum itu, republik berutang budi sang imam.
KOLONIAL BELANDA kaget sekaget-kagetnya pada tahun 1928. Kaum tani dan buruh yang mereka sepelekan berani memberontak, dipimpin oleh partai yang masih belia: Partai Komunis Indonesia.
Pemberontakan pertama secara nasional melawan kolonial itu secara mudah dipatahkan, tapi kaum kolonial terlanjur terjangkit penyakit takut. Mereka melakukan razia terhadap segala sesuatu yang berbau ‘Kiri’, termasuk di sekolah-sekolah kaum priyai.
Suatu ketika, razia dilakukan di sekolah kedokteran pribadi Nederlands Indische Artsen School, Surabaya.
Seorang petugas menghampiri satu siswa yang sudha 5 tahun mengenyam pendidikan di sekolah itu dan menginterogasinya. Sebab, dalam lacinya tedapat buku karangan Karl Marx, dedengkot kaum komunis modern sedunia.
“Dari mana kamu dapat buku ini?” tanya petugas.
”Dari paman saya,” jawa si siswa.
”Siapa paman kamu?”
”Mas Marco Kartodikromo.”
”Nah, ini yang bikin memberontak,” tuding petugas.
Siswa itu bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, bocah indekos di rumah pemimpin Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto.
Setelah terjaring razia buku Karl Marx, Kartosoewirjo dikeluarkan dari sekolah. Razia itu berbekas. Kartosoewirjo menyimpan amarah kepada penjajah.
Mas Marco Kartodikromo adalah satu dari barisan pelopor kaum jurnalis di Indonesia. Dia adalah murid dari perintis jurnalisme di Nusantara, yakni Sang Pemula: Raden Mas Tirto Adisuryo.
Mas Marco kerap berurusan dengan polisi kolonial karena tulisan-tulisannya yang berani mengkritik pemerintah penjajahan. Dialah yang menularkan semangat melawan penjajahan itu kepada sang keponakan: Kartosoewirjo muda.
Setelah mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi dokter, Kartosoewirjo banting setir bekerja sebagai penyunting di surat kabar Dadjar Asia, di Surabaya.
Selain menjadi editor, ia tetap berguru kepada Tjokroaminoto, si ‘Raja Jawa Tak Bermahkota’ itu. Di sana pula, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berteman dengan murid Bung Tjokro yang lain: Muso dan Soekarno.
“Saya tahu dari ibu (Dewi Siti Kalsum), Bung Karno itu lebih dekat secara pribadi dengan HOS Tjokroaminoto. Sedangkan bapak, lebih dekat dari segi pekerjaan dan ajaran. Itu cerita dari ibu,” tutur Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu sang imam.
Saya menemui Sardjono di rumah pribadinya, Malangbong, Garut, Jawa Barat, bakda Jumatan pekan lalu, sekitar pukul 14.15 WIB.
Rumah yang didiami Sardjono dan keluarga terbilang besar kalau dibandingkan dengan kediaman-kediaman tetangga.
Griya kediaman putra bungsu Kartosoewirjo itu jauh dari kata “angker”, meski sang ayah dicap sebagai gembong pemberontak yang sempat menggoyang pemerintahan Bung Karno.
Bendera Merah Putih berkibar di ujung tiang yang tegak berdiri di depan rumah bercat dominan hijau toska. Cuma itu, merah putih. Tak ada bendera bulan sabit maupun bintang.
Sardjono ditinggal sang ayah yang dieksekusi mati tentara republik pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. Kala itu, umurnya baru 5 tahun.
Tak banyak pemikiran dan pemahaman sang Imam DI/TII yang diwarisi kepada dirinya, mengingat umurnya yang masih balita.
Sardjono mengakui mengetahui seluk-beluk pemikiran ayahnya dari buku dan ibu. Satu-satunya pesan sang ayah yang diingatnya sejak dulu adalah: kembalilah ke pangkuan Republik Indonesia.
Itu adalah satu dari dua maklumat SM Kartosuwirjo yang disebar tentara republik melalui selebaran setelah dia ditangkap.
“Apa benar dari kecil Anda sudah ditanamkan anti NKRI dan Pancasila oleh ayah?” tanya saya.
“Kata siapa?” Sardjono balik bertanya.
“Tidak benar itu, enggak, engak ada seperti itu,” tegasnya.
“Jadi, apa dong yang diajarkan oleh ayah anda?”
“Kembali ke pangkuan Republik Indonesia dan hentikan tembak-menembak, sudah seperti itu, dan sekarang sudah dilaksanakan oleh saya.”
Selasa 13 Agustus 2019, Sardjono memimpin 13 rekannya berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, di lantai 6 Gedung Kementerian Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Ketiga belas orang itu adalah mantan anggota Harokah Islam, eks DII/TII, dan eks NII anak buah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
BANDAR DOMINO99 | AGEN BANDARQ | AGEN POKER | DOMINO ONLINE | AGEN DOMINO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar